Kalau ngomongin soal kuliner khas Bali, banyak yang langsung kepikiran sama sate lilit, ayam betutu, atau lawar. Tapi tunggu dulu, di balik gemerlap pantai dan watersport Tanjung Benoa, ada satu jajanan tradisional yang jarang disorot tapi bikin siapa aja ngiler. Namanya Rujak Batu-Batu.
Yup, dari namanya aja udah bikin penasaran kan? Rujak kok batu-batu? Eits, sabar dulu… yuk kita kulik bareng!
Membedah Rujak Batu-Batu: Antara Nama dan Rasa
Jangan terkecoh dengan namanya. Meski disebut Rujak Batu-Batu, makanan khas Tanjung Benoa ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan batu kerikil. Kata “batu-batu” di sini adalah sebutan lokal untuk siput laut kecil yang cangkangnya keras, biasa ditemukan di pesisir semenanjung.
Cita rasanya? Perpaduan segar, pedas, dan asam yang kuat. Siput laut rebus disiram kuah dingin berbahan cuka, cabai rawit, garam, dan irisan bawang putih. Kadang ditambah kacang goreng atau kerang goreng kering biar makin nendang. Sensasi kenyal siput bertemu kuah asam pedas ini benar-benar bikin lidah bergetar.

Sejarah Rujak Batu-Batu
Rujak Batu-Batu bukan sekadar camilan pinggir jalan. Di balik kenyalnya siput laut yang disiram kuah asam pedas itu, tersembunyi cerita pertemuan dua dunia: budaya nelayan Bali dan komunitas Tionghoa perantau yang sejak abad ke-16 telah mewarnai sejarah Tanjung Benoa.
Dulu, kawasan ini dikenal dengan nama ‘Benua’, sebuah pelabuhan kecil di ujung semenanjung selatan Bali. Lokasinya yang strategis menjadikannya titik persinggahan kapal-kapal dagang dari para pelaut Tionghoa yang berlayar dengan perahu Wangkang.
Para pedagang Tionghoa itulah yang membawa tradisi kuliner berbasis saus cuka tajam, salah satu teknik pengawetan dan penyedap yang populer di dapur-dapur pesisir Asia. Di tangan masyarakat Bali pesisir, bumbu cuka itu berpadu dengan hasil tangkapan laut lokal berupa siput batu-batu. Sebuah kolaborasi sederhana yang akhirnya melahirkan Rujak Batu-Batu: makanan rakyat, yang tak hanya memuaskan rasa lapar, tapi juga jadi catatan hidup tentang persinggungan budaya di selat Bali.
Lebih dari sekadar kuliner, Rujak Batu-Batu adalah arsip rasa yang menyimpan jejak masa lalu Tanjung Benoa Bali. Dari kuah cuka pedasnya, tercium aroma pelayaran panjang para saudagar pelaut. Dari kenyalnya daging siput, tersaji kekayaan samudra semenanjung yang sejak dulu menjadi penopang hidup nelayan lokal. Dan dari cara menyantapnya di bawah pohon rindang atau di depan warung sederhana, tercermin gaya hidup pesisir yang akrab, egaliter, dan selalu berpesta kecil di tepi pantai.
Hingga kini, meski dunia berubah cepat, jejak fusi kuliner ini tetap bertahan di sela modernisasi kawasan wisata Tanjung Benoa. Setiap semangkuk Rujak Batu-Batu bukan hanya soal rasa, tapi juga kenangan kolektif masyarakat pesisir yang lahir dari peluh nelayan, racikan dapur ibu-ibu warung, dan warisan leluhur pelaut yang singgah seabad silam.
Baca: Caow Eng Bio
Kelangkaan di Tengah Perubahan Ekologis Tanjung Benoa
Sayangnya, camilan ini kini perlahan menjadi langka. Siput laut jenis batu-batu makin sulit ditemukan di pesisir sekitar Tanjung Benoa akibat perubahan ekosistem laut dan aktivitas pariwisata. Untuk memenuhi permintaan, banyak penjual yang terpaksa mendatangkan siput dari luar Bali, seperti Pulau Sepeken di Madura.
Hal ini menciptakan ironi: hidangan yang didefinisikan sebagai khas Tanjung Benoa, tapi bahan bakunya kini didatangkan dari luar pulau. Sebuah potret nyata tantangan makanan tradisional di era modern.
Di Mana Bisa Menemukan Rujak Batu-Batu Asli?
Salah satu warung legendaris penyaji Rujak Batu-Batu adalah Warung Man Lelet di Banjar Tengah. Dikelola oleh pasangan Nyoman Berata dan Ni Nyoman Nandri, warung ini menjual sekitar 3 kilogram siput setiap harinya.

Harga per porsinya pun bersahabat, berkisar Rp 4.000 – Rp 5.000. Selain di sini, beberapa warung kecil di Desa Tanjung Benoa masih menjaga tradisi menyajikan rujak laut otentik ini, meski jumlahnya kian menyusut.
Kenapa Hidangan Ini Harus Dilestarikan?
Lebih dari sekadar makanan khas Tanjung Benoa, Rujak Batu-Batu adalah jejak sejarah dan budaya yang hidup. Ia jadi simbol sinkretisme budaya Bali dengan pendatang Tionghoa, dan saksi bisu hubungan masyarakat pesisir dengan laut.
Melestarikan makanan ini berarti menjaga potongan penting dari identitas kuliner Bali yang nyaris terlupakan. Apalagi di tengah ekspansi restoran modern yang seringkali menggeser warung-warung tradisional.
Tips Menikmati Rujak Batu-Batu untuk Wisatawan
Buat kamu yang penasaran ingin mencoba, perhatikan beberapa tips berikut:
- Cari warung yang masih menggunakan siput lokal segar
- Tanya level pedas sesuai kemampuan
- Minta tambahan kacang goreng buat menambah tekstur
- Waktu paling pas: siang hari setelah panas-panasan di pantai
Intip: Tempat Makan Halal di Tanjung Benoa
Kesimpulan
Di balik semangkuk kecil Rujak Batu-Batu tersimpan kisah panjang tentang migrasi, budaya pesisir, perubahan ekologi, dan tantangan modernisasi. Kuliner ini lebih dari sekadar camilan, ia adalah warisan rasa dan identitas Tanjung Benoa yang layak dilestarikan.
Jadi, kalau kamu berencana liburan ke Bali, jangan cuma sibuk cari beach club Instagramable atau sunset dinner di pinggir resort. Sisihkan waktu buat menyelami rasa yang lebih otentik, yang lahir dari laut, dari dapur warung kecil, dan dari sejarah panjang pelabuhan kuno.

Coba mampir ke Warung Man Lelet atau cari Rujak Batu-Batu di sudut desa Tanjung Benoa. Nikmati sensasi siput laut dengan kuah cuka pedasnya, dan rasakan sendiri kenapa camilan kecil ini begitu berarti bagi warga pesisir.
Karena kalau liburan ke Bali hanya soal pemandangan indah tanpa mencicipi kuliner aslinya, kamu cuma menyentuh kulitnya, bukan jiwanya.
Oh iya, bagi kamu yang belum sempat booking watersport, bisa langsung pesan online lewat kami.
Cek: harga watersport Tanjung Benoa
FAQ
Rujak Batu-Batu adalah camilan tradisional khas Tanjung Benoa yang terbuat dari siput laut rebus, disajikan dengan kuah cuka pedas. Meski namanya “batu-batu”, yang dimaksud bukan batu sungguhan, melainkan sebutan lokal untuk siput laut bercangkang keras.
Di Bali, istilah rujak tak selalu berarti irisan buah segar. Rujak Batu-Batu menggunakan konsep serupa: bahan utama disiram saus pedas asam. Bedanya, yang digunakan adalah siput laut, bukan buah-buahan.
Secara bahan dasar, siput laut bisa dikonsumsi. Namun, beberapa warung di Bali bisa saja menggunakan campuran bahan non-halal di kuahnya. Sebaiknya tanyakan dulu ke penjual tentang bahan-bahan yang digunakan, atau pilih warung yang sudah jelas statusnya.
Salah satu tempat yang paling direkomendasikan adalah Warung Man Lelet di Banjar Tengah, Tanjung Benoa. Tempat ini dikenal sebagai pelestari kuliner tradisional pesisir yang autentik.
Kalau seafood lain biasanya berupa ikan bakar atau kerang saus tiram, Rujak Batu-Batu punya sensasi unik: kenyalnya siput, kuah cuka pedas yang dingin, dan rasa asam-gurih yang kuat. Ditambah sejarah panjang percampuran budaya di baliknya, membuat hidangan ini istimewa.
Karena Rujak Batu-Batu bukan hanya soal rasa, tapi juga warisan budaya maritim Tanjung Benoa, jejak akulturasi Tionghoa-Bali, dan pengingat akan ekologi laut yang dulu subur. Pelestariannya penting agar generasi mendatang masih bisa mencicipi rasa dan cerita di baliknya.