Sejarah Tanjung Benoa

Hi Pencinta Watersport Bali. Kali ini kami akan bahas tentang sejarah Tanjung Benoa Bali. Dalam tulisan ini, kami akan bagi dalam beberapa tulisan seputar sejarah Tanjung Benoa di Bali.

Tanjung Benoa, sebuah tempat di ujung “kelingking” kaki Pulau Bali. Pantai di tempat ini cukup unik karena pasang-surut air lautnya sangat tergantung pada “Purnama-Tilem”. Karang lautnya juga masih lestari, sehingga ombak akan pecah di luar, sebelum menyentuh bibir pantai. Karena itulah dikenal istilah “laut dangkal” dan “laut dalam”.

Nah, karena adanya laut dangkal inilah, Tanjung Benoa terkenal dengan aktifitas watersportnya. Pesatnya perkembangan kawasan wisata air ini, tentu saja tidak terlepas dari sejarah Tanjung Benoa.

Lokasi Tanjung Benoa

Terletak di kaki Pulau Bali, tepatnya di Kecamatan Kuta Selatan. Tanjung Benoa ada diantara 8º 45′ 33.2″ Lintang Selatan dan 115º 13; 17.6″ – 115º 13′ 41.3″ Bujur Timur. Desa adat ini yang berada di pesisir pantai dan dekat dengan pelabuhan Benoa. Sebagian besar sisi kawasan ini berbatasan langsung dengan laut, kecuali bagian selatan yang berbatasan dengan Desa Adat Tengkulung.

Melalui jalur tol Bali Mandara, jika dari Airport bisa ditempuh 45 menit dengan mobil. Dari Kuta, Seminyak, Legian, ke Tanjung Benoa bisa sampai 1 jam.

Peta Tanjung Benoa

Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

  • Utara berbatasan dengan Selat Badung atau Pantai Tanjung Benoa
  • Timur berbatasan dengan Selat Nusa Penida atau Pantai Nusa Dua
  • Selatan berbatasan dengan Desa Adat Tengkulung
  • Barat berbatasan dengan Pantai Barat Tanjung Benoa.

Kelurahan Tanjung Benoa ini terdiri dari dua desa Adat, yaitu :

  1. Desa Adat Tengkulung yang terdiri dari satu banjar, yaitu Banjar Tengkulung
  2. Desa Adat Tanjung Benoa yang terdapat lima lingkungan banjar. Kelima lingkungan banjar adalah Lingkungan Banjar Kertha Pascima, Lingkungan Banjar Purwa Santhi, Lingkungan Banjar Anyar, Lingkungan Banjar Tengah dan Lingkungan Banjar Panca Bhinneka
Sejarah Tanjung Benoa

Ini Dia Sejarah Tanjung Benoa

Berbicara mengenai sejarah Tanjung Benoa, maka tidak terlepas pula dari sejarah etnik yang mendiaminya. Terdapat lima etnik pokok di Desa Adat Tanjung Benoa, yaitu etnis Tionghoa, Bali, Bugis, Jawa dan Palue (Flores). Kelima etnik ini memiliki sejarah masing-masing, sehingga mereka menjadi masyarakat etnis di desa adat ini.

Berikut akan dibahas mengenai sejarah kedatangan dan lokasi permukiman dari masing-masing etnik.

Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa

Sejak Zaman Dinasti Tang, bandar-bandar pelabuhan di Pesisir Tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar-bandar perdagangan yang besar. Bandar yang tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut adalah Quanzhou. Pertumbuhan perdagangan di Daerah Pesisir Tenggara Tiongkok ini menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang dan memperluas daerah perdagangan.

Tujuan utama pedagang Tionghoa adalah Asia Tenggara. Pelayaran sangat bergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang asal Tiongkok ini akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Keadaan inilah yang menyebabkan terdapat beberapa pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat dan ada pula pedagang yang pulang kembali ke daerah asal untuk terus berdagang.

Pelayaran masyarakat Tionghoa mulai masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-7 dan menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Sejak abad ke-11, ratusan ribu masyarakat Tionghoa mulai memasuki kawasan Indonesia. Kawasan utama Indonesia yang disinggahi oleh masyarakat Tionghoa adalah daerah pesisir karena mata pencaharian utama mereka di bidang perdagangan dan pelayaran.

Klenteng Caow Eng Bio

Menurut Bendesa Adat Tanjung Benoa, etnis Tionghoa merupakan etnis yang pertama kali bermukim di Kawasan Tanjung Benoa. Hal tersebut dilihat dari klenteng yang telah dibangun lebih dari 400 tahun yang lalu. Umur klenteng yang berumur lebih dari 400 tahun ini memberitahukan bahwa masyarakat Tionghoa mulai datang ke kawasan ini sekitar abad ke-16, tepatnya tahun 1546.

Klenteng tersebut dibangun setelah terdapat banyak masyarakat Tionghoa yang tinggal di kawasan ini yang dominan beragama Buddha. Hal ini juga didukung dengan penjelasan dari Pemangku Klenteng Caow Eng Bio yang menyatakan,

…kira-kira Klenteng ini umurnya hampir lebih dari empat ratus tahun, itu yang tertulis dari prasasti yang ada di belakang itu, yang ada nama orang yang buat Klenteng ini, tapi para guru bahasa Tiongkok sama Mandarin yang sudah banyak datang ke sini saja tidak bisa menerjemahkan nama-nama yang ditulis di batu itu, mungkin itu bahasa Tiongkok Kuno, soalnya batunya yang dipakai saja batu tua yang sekarang hampir tidak bisa ditemukan lagi entah itu batu laut apa yang digunakan untuk mengukir nama yang dulu buat konco ini. Cerita dari kakek saya juga bilang umur Klenteng ini sudah empat ratus tahunan dibangun waktu orang Tionghoa datang dan tinggal di sini waktu itu…

Awalnya masyarakat Tionghoa datang ke Kawasan Tanjung Benoa Bali untuk tujuan perdagangan baik untuk menjual benda-benda antik maupun benda khas Tiongkok, seperti kain sutra, giok dan guci. Mereka berkunjung ke Tanjung Benoa karena lokasi Tanjung yang dikelilingi oleh laut dan masyarakat Tionghoa dulunya sering melakukan pelayaran dalam berdagang. Saat tiba di Tanjung Benoa banyak pedagang asal Negara Tiongkok ini yang mulai menetap. Pelayaran masyarakat Tionghoa menggunakan perahu yang disebut dengan “Wangkang”.

Kapal Wangkang adalah jenis kapal yang ada di Tiongkok. Seluruh pelayaran dalam bidang perdagangan selalu menggunakan kapal jenis ini. Kapal ini merupakan kapal yang mampu untuk menempuh jarak yang jauh dan mengangkut atau menampung banyak barang dagangan yang akan diperdagangkan di luar daerah

Kapal Wangkang
Kapal Wangkang

Lokasi permukiman etnis Tionghoa dibangun di sekitar area Klenteng. Masyarakat akan selalu berusaha untuk membangun permukiman mereka dekat dengan fasilitas umum yang sering digunakan. Permukiman etnis Tionghoa selain dibangun dekat dengan Klenteng Caow Eng Bio juga dibangun dekat dengan pantai yang merupakan sumber mata pencaharian.

Didukung dengan letak tempat peribadahan umat Buddha di Tanjung Benoa ini yang memang harus berada di depan laut. Klenteng harus dibangun di depan laut karena Klenteng Caow Eng Bio merupakan Konco yang memuja Dewa Laut.

Kelenteng Caow Eng Bio
Kelenteng Caow Eng Bio

Lokasi Permukiman

Permukiman etnis yang disebut sebagai pendatang pertama yang tiba dan menetap di Tanjung Benoa ini, awalnya berada di beberapa lingkungan banjar yang ada karena jumlahnya yang banyak. Lingkungan Panca Bhinneka, Tengah dan Purwa Santhi awalnya menjadi kawasan permukiman masyarakat Tionghoa yang dipenuhi dengan rumah-rumah etnis yang datang dari Tiongkok ini. Area permukiman sebelumnya cukup luas akibat jumlah etnik Tionghoa yang banyak di Tanjung Benoa.

Sejak pindahnya pelabuhan dari Tanjung Benoa ke Benoa, jumlah masyarakat etnis Tionghoa mulai berkurang. Mata pencaharian dalam perdagangan perlahan mulai menyurut, sehingga banyak yang pindah ke Benoa dan daerah pesisir lainnya, seperti Kuta. Saat ini lokasi permukiman etnis Tionghoa tersebar di sekitar Klenteng, lingkungan banjar Tengah, Purwa Santhi dan sedikit masuk ke Lingkungan Panca Bhinneka dengan jumlah yang sedikit.

Sejarah Kedatangan Etnik Bali

Etnis Bali merupakan etnik kedua yang datang setelah kedatangan etnik Tionghoa. Masyarakat etnis Bali yang datang pertama kali ke Desa Adat Tanjung Benoa berasal dari Klungkung pada zaman kerajaan yaitu sekitar abad ke-17. Masyarakat yang datang kemudian berasal dari beberapa daerah di Bali, seperti dari Gianyar khususnya Sukawati dan etnis yang dominan beragama Hindu yang terakhir datang ke daerah ini berasal dari Nusa Penida. Hal ini diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan Bendesa Adat Tanjung Benoa yang memaparkan,

…Hindu (Bali) campuran dari seluruh Kabupaten se-Bali, tapi yang pertama dari Klungkung, Hindu dari Klungkung pada zaman kerajaan…etnis Bali atau Hindu yang terakhir datang ke sini adalah orang Bali dari Nusa Penida…

Keadaan Pulau Pudut (sekarang lebih dikenal sebagai Pulau Penyu Bali) yang terletak di sebelah Barat dari Desa Adat Tanjung Benoa pada tahun 1970-an mulai terabrasi dan hampir tenggelam. Keadaan pulau ini menyebabkan Masyarakat Tanjung Benoa yang dulunya tinggal di Pulau Pudut mulai pindah ke wilayah desa adat ini pada tahun 1972, seperti kutipan dari wawancara dengan Bapak Bendesa, I Nyoman Wana Putra,

…di Pulau Pudut dulu ada perumahan tapi karena ia menipis, masyarakatnya pindah ke daerah sini. Sekarang pulau terabrasi hampir tenggelam dan ini mau direklamasi…

Lokasi Permukiman

Lokasi permukiman etnis Bali tersebar di seluruh lingkungan yang ada di Tanjung Benoa. Lingkungan banjar yang paling banyak dihuni oleh etnis Bali ini adalah lingkungan banjar Purwa Santhi, Tengah, Kertha Pascima dan Anyar. Saat ini etnis Bali menjadi etnis yang memiliki jumlah paling banyak, sehingga menjadi etnis yang dominan.

Etnik Bali juga terdapat pada Lingkungan Banjar Panca Bhinneka. Masyarakat etnis Bali yang terdapat di lingkungan banjar ini, jumlahnya sangat sedikit karena lingkungan ini lebih dominan ditinggali oleh masyarakat dari etnis yang beragama Islam, seperti etnis Bugis dan Jawa. Hal ini karena tempat peribadatan bagi umat Muslim dibangun di daerah ini

Kawasan barat dari Lingkungan Anyar banyak dibangun fasilitas umum, seperti kuburan, pura, sekolah, kantor dan fasilitas pendukung pariwisata dengan penggunaan lahan yang cukup luas. Fasilitas pedukung pariwisata yang paling banyak dibangun adalah hotel, mini market dan fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan hiburan. Fasilitas-fasilitas umum ini yang menyebabkan hampir tidak terdapat permukiman penduduk kecuali di bagian tengah dari Lingkungan Anyar.

Sejarah Tanjung Benoa
Sejarah Tanjung Benoa – Lokasi permukiman Etnik Bali

Sejarah Kedatangan Etnik Bugis

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadat. Penyebaran pertama masyarakat Bugis adalah pada abad ke-15 hingga abad ke-19. Penyebaran terjadi saat terjadinya konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis dan menciptakan ketidaktenangnya di daerah Sulawesi Selatan.

Peperangan dan pemberontakan inilah yang akhirnya mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya dan bermigrasi ke daerah lain untuk keamanan dan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan, sehingga banyak orang Bugis tersebar di berbagai provinsi Indonesia hingga ke mancanegara.

Menurut beberapa sumber baik dari Bendesa Adat Tanjung Benoa dan Kelian Banjar Panca Bhinneka, etnis Bugis merupakan etnis ketiga yang datang dan mulai menetap di Desa Adat Tanjung Benoa pada tahun 1950-an. Berikut adalah kutipan dari wawancara dengan Bendesa Adat yang menyatakan,

…masyarakat Bugis adalah nomor tiga datang, dimana Buddha dulu atau Tionghoa, Hindu baru Islam yang dari Bugis, nah karena ini daerah perlabuhan, kemungkinan orang Hindu Bali datang karena mendengar Tionghoa datang…

Hal ini didukung dengan cerita dari Kelian Banjar Panca Bhinneka, Suardi Indrajaya mengenai kedatangan etnis Bugis,

…Bugis datang setelah ada Tionghoa sama Bali di sini, dengan Kapal Bugis Sawerigading, hal ini mungkin karena terdapat pantai dan jalur perdagangan atau juga kemungkinan ada semacam perang di tempat asalnya di Sulawesi itu. Etnis kita ini datang kira-kira sekitar tahun 1950-an soalnya tahun ini yang saya ketahui terjadi pemberontakan…

Etnis Bugis banyak yang bermigrasi ke daerah pesisir karena masyarakat Bugis awalnya tinggal di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Kepindahan masyarakat Bugis ke Tanjung Benoa Bali yang merupakan pesisir disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:

  • Pertama jiwa merantau mereka yang sangat besar dan kepiawaian mereka dalam mengarungi samudra.
  • Pekerjaan mereka sebagai nelayan juga menyebabkan mereka memilih Tanjung Benoa yang merupakan daerah pesisir.
  • Terdapat pelabuhan di Tanjung Benoa dan menjadi salah satu jalur perdagangan, sehingga masyarakat Bugis yang merupakan pedagang datang ke daerah ini.

Kapal Pinisi – Kapal Bugis Sawerigading

Menurut penduduk setempat, etnik Bugis pertama kali datang ke Tanjung Benoa menggunakan kapal yang disebut dengan “Kapal Bugis Sawerigading”. Sebenarnya kapal tersebut memiliki nama “Kapal Pinisi“. Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia yang telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad lalu dan diperkirakan sudah ada sebelum abad ke-15.

Kapal ini berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari Desa Bira Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan dan dua di belakang.

Kapal Pinisi
Kapal Pinisi

Kapal Pinisi ini umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar-pulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar (dua tiang) dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia.

Menurut naskah Lontarak Babad I La Lagaligo (anak dari Sawerigading dan I We Cudai dan pembuat karya sastra terbesar di dunia) pada abad ke-14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu. Kapal ini dibuat untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama I We Cudai. Mungkin karena kisah Sawerigading dan kapalnya yang sangat terkenal dalam tradisi masyarakat Bugis, maka masyarakat Bugis sering menyebutnya dengan “Kapal Bugis Sawerigading”.

Lokasi Permukiman

Masyarakat Bugis yang datang terlebih dahulu membangun fasilitas peribadatan berupa masjid, Masjid Jami’ Mujahidin dibangun pada tgl 8 Maret 1997 atau 28 Syawal 1417 H. Awalnya yaitu pada saat masyarakat Bugis mulai datang di Kawasan Tanjung Benoa, tempat ibadah untuk umat Islam hanya berupa langgar (masjid kecil) yang dijadikan tempat untuk memberikan ceramah dan sembahyang (salat).

Semakin lama, semakin banyak penduduk Islam yang datang, maka dibangun sebuah Masjid yang digunakan untuk menampung seluruh masyarakat Tanjung Benoa yang beragama Islam. Berikut foto Masjid Jami’ Mujahidin di Tanjung Benoa

Sumber foto: balimuslim.com

Masyarakat Bugis yang dominan beragama Islam ini membangun permukiman di sekitar Masjid dan seluruh Lingkungan Panca Bhinneka, terletak di bagian barat laut dari Desa Adat Tanjung Benoa. Menurut Kelian Panca Bhinneka nama Panca Bhinneka didapatkan dari jumlah etnik yang tinggal di kawasan ini, seperti kutipan dari wawancara yang dilakukan kepada Bapak Suardi ini yang menyatakan bahwa,

…kata “Panca” itu memiliki arti lima yang mana menandakan terdapat lima etnik yang tinggal di sini, di Panca Bhinneka ini, itu ada, maksudnya selain Bugis dan Jawa ada etnis Bali, Tionghoa dan etnis yang dari Flores itu yang juga tinggal di sini, ya walaupun tidak banyak cuma sedikit saja. Terus kata “Bhinneka” itu bisa memiliki arti satu ya atau mungkin sama-sama, sehingga dari dulu sudah di sebut Panca Bhinneka…

Masyarakat Bugis yang tinggal di daerah ini banyak yang berasal dari Makassar dan Mandar. Desa Adat Tanjung Benoa mengalami penambahan penduduk khususnya di Lingkungan Panca Bhinneka karena tidak hanya etnis Bugis dan Jawa saja yang tinggal di daerah ini. Pada lingkungan banjar ini terjadi penambahan penduduk dari beberapa kota di Indonesia, seperti dari Sumatra (Medan, Lampung dan Padang) serta Lombok, tetapi tidak banyak hanya beberapa orang saja. Penambahan penduduk ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap etnis dominan yang tinggal di Lingkungan Banjar Panca Bhinneka.

Warga yang ingin masuk dalam di Lingkungan Banjar Panca Bhinneka diharuskan memiliki tempat tinggal di daerah ini dan memiliki surat pindah dari daerah asal. Sekitar tahun 2000-an terdapat keringanan untuk anggota banjar yang tidak memiliki tempat tinggal di lingkungan banjar (tinggal di kawasan Nusa Dua). Keringanan ini diberikan karena banjar ini kekurangan lahan untuk membangun tempat tinggal tambahan.

Sejarah Tanjung Benoa
Sejarah Tanjung Benoa – tempat Ibadah & Pemakaman di Tanjung Benoa

Sejarah Kedatangan Etnik Jawa

Etnis Jawa datang menetap ke Desa Adat Tanjung Benoa tidak lama setelah etnik Bugis. Tahun tepatnya etnis Jawa datang ke daerah ini masih belum diketahui dengan jelas. Menurut Kelian Banjar Panca Bhinneka diperkirakan etnis Jawa datang kurang lebih 10 tahun setelah etnis Bugis tinggal di kawasan ini.

Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah ini banyak yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (khususnya dari daerah Banyuwangi). Etnis Jawa datang ke Bali karena letak pulau yang saling berdekatan selain untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik daripada di daerah asal mereka yang memiliki penduduk dengan jumlah yang cukup besar di setiap kota di Pulau Jawa dan kekurangan lapangan pekerjaan.

Lokasi Permukiman

Masyarakat Jawa yang dominan beragama Islam ini membangun permukiman di sekitar Masjid, khususnya di Lingkungan Panca Bhinneka. Etnis Jawa membangun permukiman di bagian barat Lingkungan Banjar Panca Bhinneka. Permukiman etnis Jawa bergabung dengan etnis Bugis karena sama-sama membangun permukiman dekat dengan Masjid yang merupakan tempat peribadatan bersama. Etnis Jawa dan Bugis merupakan dua etnis utama yang menganut agama Islam.

Saat ini sudah berdiri Masjid Jami’ Mujahidin yang dibangun pada tgl 8 Maret 1997 atau 28 Syawal 1417 H.

Sejarah Kedatangan Etnik Palue, Flores

Penduduk Palue berasal dari sebuah pulau kecil yang terletak di perairan sebelah utara Pulau Flores dan secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penduduk etnis Palue merupakan etnis dengan jumlah yang paling sedikit. Etnik Palue yang tinggal di Tanjung Benoa ini datang sekitar tahun 1970-an. Seperti kutipan yang didapat dari wawancara dengan Bendesa Adat Tanjung Benoa,

…mulai masuknya tahun 1970 hingga 1971, Kristen masuk dari suku Palue di Nusa Tenggara Timur, sehingga tahun 1994 dibuat Gereja di Puja Mandala di Nusa Dua, itu dibuat atas pertimbangan dari Tanjung Benoa…

Etnik ini datang karena Tanjung Benoa Bali membutuhkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan untuk menyelam serta melakukan pelayaran. Masyarakat etnis dari Flores ini sangat kuat juga lincah untuk menyelam baik untuk menangkap hasil laut ataupun menjadi penjaga pantai.

Hal ini menyebabkan 90% dari etnis Palue bekerja sesuai dengan keahlian mereka yaitu sebagai anak buah kapal dan bekerja dalam bidang pariwisata khususnya water sport. Masyarakat etnis Palue selalu dipilih menjadi pengawas atau instruktur saat para wisatawan melakukan wisata air.

Baca: Harga Watersport Tanjung Benoa

Lokasi Permukiman

Permukiman etnis Palue tidak memiliki daerah yang pasti karena jumlah etnis yang tidak banyak. Etnis dari Flores ini masih hidup secara nomaden dan tidak menetap di Tanjung Benoa. Kebanyakan masyarakat etnis Palue mengontrak tanah ataupun tinggal sementara di kos yang dibangun oleh masyarakat desa adat ini.

Berbeda dengan etnis lain yang berusaha untuk bermukim di daerah yang dekat dengan tempat peribadatan mereka. Pada umumnya mereka berusaha mengontrak atau tinggal di kos-kosan yang dekat dengan pekerjaan mereka, yaitu kawasan di sekitar pantai karena tidak terdapat gereja pada kawasan desa adat ini. Etnis Palue ini dominan menyewa tanah atau menyewa kamar (kos) di Lingkungan Banjar Kertha Pascima karena banjar ini cukup dekat dengan dermaga. (sumber: PPS Unud)

Kesimpulan dari Sejarah Tanjung Benoa

Sebagai perkampungan dari masyarakat multi-etnik Tanjung Benoa Bali memiliki beragam adat istiadat, etnis dan agama. Etnis mayoritas merupakan mayoritas Bali yang terdiri dari ± 70% dan etnis lainnya terdiri dari etnis Tionghoa ± 7%, etnis Bugis dan Jawa sekitar ± 18% dan sisanya adalah etnis Palue dari Flores, Nusa Tenggara Timur.

Terdapat lima agama yang berkembang di Desa Adat Tanjung Benoa, antara lain agama Hindu yang merupakan agama mayoritas dan empat agama lainnya, yaitu agama Islam, Kristen (Kristen Katolik dan Kristen Protestan) serta agama Buddha.

Tanjung Benoa bukan hanya sekadar destinasi wisata, tetapi juga sebuah tempat yang kaya akan sejarah, budaya, dan keragaman etnis. Perjalanan waktu telah membentuk identitasnya yang unik dan menarik. Dengan memahami sejarah Tanjung Benoa dan menghargai keragamannya, kita dapat lebih menghargai dan melestarikan kebudayaan untuk generasi mendatang.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

Bagikan:

Photo of author

TanjungBenoa Team

Perkenalkan, kami dari TanjungBenoa Team. Selalu siap support untuk memberikan informasi menarik tentang Tanjung Benoa Watersport, objek wisata terdekat, kuliner, akomodasi hotel, dan lainnya. Fyi, Tanjung Benoa merupakan pusat wisata bahari di Bali. Pemesanan voucher watersport Tanjung Benoa, silakan hub. 081236010169 / 081339633454

Tinggalkan komentar